S-kpk Update|JAKARTA- Pada draf RUU KUHAP dalam Pasal 93 ayat (5) yang mengatur syarat-syarat sahnya penahanan, untuk jelasnya bunyi draf Pasal 93 ayat (5) RUUKUHAP sebagai berikut :
Penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92, dilakukan terhadap Tersangka atau Terdakwa yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah jika Tersangka atau Terdakwa:
a. mengabaikan panggilan Penyidik sebanyak 2 (dua) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
b. memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan;
c. tidak bekerja sama dalam pemeriksaan;
d. menghambat proses pemeriksaan;
e. berupaya melarikan diri;
f. berupaya merusak dan menghilangkan barang bukti;
g. melakukan ulang tindak pidana; dan/atau
h. terancam keselamatannya atas persetujuan atau permintaan Tersangka atau Terdakwa.
i. Mempengaruhi saksi untuk tidak mengatakan kejadian sebenarnya.
Menurut Habiburokhman Ketua Komisi III DPR-RI yang diperoleh penulis dari Facebooknya, menyatakan :
“Kami bahkan sudah sepakat dengan pemerintah untuk menghapus syarat penahanan yang tadinya menyebutkan ‘tidak bekerja sama dalam pemeriksaan’. Ini supaya penahanan tidak sembarangan, lebih mengutamakan prinsip keadilan. Sekarang KUHAP baru mengharuskan adanya tindakan nyata, bukan sekadar kekhawatiran”.
Habiburokhman menilai pengaturan tersebut merupakan langkah maju dalam reformasi hukum acara pidana di Indonesia. Dengan ketentuan yang lebih tegas dan terukur, diharapkan institusi penahanan dapat lebih objektif, transparan, serta mengutamakan perlindungan hak asasi setiap warga negara, Ini bentuk ikhtiar kami di DPR agar ke depan proses penahanan benar-benar akuntabel dan tidak mudah disalahgunakan”.
“memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan”.
Menurut Penulis dari syarat penahan tersebut di atas pada huruf b dan d menimbulkan permasalahan hukum pada Pasal 93 ayat (5) huruf b RUUKUHAP yang berbunyi : “memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan”, dalam hal ini mengalami kemunduran dari KUHAP yang saat ini berlaku dan mengembalikan ke HIR dimana Penyidik mengejar pengakuan Tersangka atau Terdakwa, atau dengan kata lain inquisitoir sedangkan dalam KUHAP yang berlaku saat ini telah berada dalam era accusatoir.
Hal ini terbukti, dari redaksional Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP yang lebih memilih menggunakan diksi keterangan terdakwa dan tidak menggunakan pengakuan terdakwa. Perbedaan frasa pengakuan, menjadi keterangan membawa konsekuensi mendalam, semula menempatkan tersangka atau terdakwa, sebagai objek pemeriksaan dalam hal ini akan Tersangka atau Terdakwa diidentikkan sebagai barang, maka jika tersangka/terdakwa, tidak mengakui perbuatan yang dituduhkan, dipandang layak diperlakukan secara kasar, sedangkan pada accusatoir Tersangka atau Terdakwa menjadi subjek pemeriksaan yang memiliki hak dan kewajiban.
Pemahaman ini, lebih mengakomodir prinsip perlindungan hak asasi manusia, yang ingin membebaskan siapapun dari segala macam bentuk intimidasi, baik fisik maupun psikis.
“Memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan”, para meternya apa?
Apakah bila Tersangka/Terdakwa memberikan informasi berbeda dengan keterangan Sakti-saksi (khususnya Saksi Pelapor), penyidik dapat menyatakan Tersangka telah memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan ?
Dalam hal ini akan bersifat Subyektif Penyidik karena Penyidik sudah tidak menerapkan Asas Praduga tak bersalah dan disamping itu juga Tersangka atau Terdakwa mempunyai hak ingkar maka sudah tepat bila Tersangka atau Terdakwa memberikan keterangan tidak disumpah, namun bukan berarti keterangan Tersangka atau Terdakwa tersebut lebih rendah dari keterangan saksi-saksi yang disumpah, dan faktanya banyak saksi yang disumpah juga berbohong atau direkayasa sesuai dengan keinginan Pelapor.
Demikian juga halnya bila Terdakwa memberikan Keterangan yang tidak sesuai dengan Keterangan Saksi-saksi disumpah dimuka Persidangan seringkali Majelis Hakim menunjukan wajah yang tidak suka bahkan dalam putusan selalu dicantumkan Terdakwa memberikan keterangan berbelit-belit atau tidak kooperatif.
Untuk juga melindungi kepentingan Terdakwa yang juga menjadi Saksi untuk terdakwa lain maka hendaknya Terdakwa yang menjadi saksi tersebut tidak disumpah, karena dalam hal ini menimbulkan permasalahan hukum yaitu disatu sisi Terdakwa memiliki hak ingkar dilain sisi Saksi tidak boleh berbohong karena itu dapat dikenai pidana Pasal 242 KUHP lama dan akan diatur dalam Pasal 291 dan 373 UU 1/2023 (KUHP baru). Sehingga Syarat dalam Pasal 93 ayat (5) huruf b RUUKUHAP telah terjebak menerapkan model “Crime Control Model” yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan juga dengan KUHAP yang berlaku saat ini, yang mengharuskan orang yang telah diajukan menjadi terdakwa harus dihukum sehingga mengabaikan Asas Praduga Tak Bersalah.
Sementara Ketua Komisi III DPRRI menyatakan dalam melakukan penahanan hendaknya tetap memberlakukan asas praduga tak bersalah.
“’Menghambat proses pemeriksaan”
Seandainya ketentuan Pasal 93 ayat (5) huruf b RUUKUHAP yang berbunyi : “memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan”, dihapus sebagaimana Pasal 93 ayat (5) huruf c RUUKUHAP namun bila ketentuan Pasal 93 ayat (5) huruf d RUUKUHAP tidak juga dihapus maka ini celah untuk mengmbalikan ketentuan Pasal 93 ayat (5) huruf b dan c RUUKUHAP, karena ketentuan Pasal 93 ayat (5) huruf d RUUKUHAP bersifat subyektif, sehingga tidak benar pernyataan Ketua Komisi III DPRRI yang menyatakan ketentuan penahanan dalam RUUKUHP tidak bersifat subyetif.
ARTIKEL :
Syarat Sahnya Penahanan Dalam RUU KUHAP, Kembali Ke Semangat
HIR ???
Oleh : H. M. ARIFSYAH MATONDANG, S.H., M.H.
(Paktisi Hukum/Waketum DPN GN-PK)
Editor : Redaksi Media 3k3 Group/s-kpk.com
0 Komentar